Jumat, 19 Juli 2013

Perang Tondano"benteng moraya"

Dalam sejarah panjang Minahasa, terdapat dalam tinta emas perlawanan terhadap penjajah Belanda , yaitu Perang Tondano 'Benteng Moraya', dimana nilai-nilai perjuangan dan persatuan sebagai negeri yang bebas dari penjajahan juga dijunjung tinggi oleh rakyat Minahasa.

Pada tahun 1801, ada kapal perang yang menembaki benteng Belanda di Manado. Setelah diselidiki ternyata kapal perang tersebut milik Inggris. Mengetahui ada konflik antara Belanda dan Inggris maka para Walak Minahasa meminta bantuan Inggris untuk mengusir Belanda. Dalam upaya mengusir Belanda, Gerrit Wuisang membeli senapan, mesiu, dan meriam dari Inggris.
Ketika Residen Dur digantikan oleh Residen Prediger, maka orang Tondano mulai menyiapkan diri untuk berperang melawan belanda. Dipimpin oleh Tewu (Touliang) dan Ma’alengen (Toulimambot), orang Tondano merasa yakin bahwa pemukiman mereka diatas air di muara tepi danau sulit diserang Belanda, tidak seperti pemukiman walak-walak Minahasa lainnya.

1806
Benteng Moraya di Minawanua mulai diperkuat dengan pertahanan parit di darat dan pasukan dengan kekuatan 2000 perahu di tepi danau. Pemimpin Tondano mengikat perjanjian denga walak-walak Tombulu, Tonsea, Tontemboan, dan Pasan-Ratahan untuk mengirmkan pasukan dan bahan makanan. Pemimpin walak Minahasa lainnya yang membantu antara lain : Andries Lintong (Likupang), Umboh atau Ombuk dan Rondonuwu (Kalabat) Manopo dan Sambuaga (Tomohon), Gerrit Opatia (Bantik), Poluwakan (Tanawangko), Tuyu (Kawangkoan), Walewangko (Sonder), Keincem (Kiawa), Talumepa (Rumoong), Manampiring (Tombasian), Kalito (Manado), Kalalo (Kakas), Mokolengsang (Ratahan) sementara pemimpin pasukan Tondano pada awal peperangan adalah Kilapog, Sarapung dan Korengkeng.

1808
Pada bulan Mei 1808, Minahasa sudah melarang Belanda pergi ke pegunungan, tapi pada tangal 6 Oktober, Belanda membawa pasukan besar yang terdiri dari serdadu dari Gorontalo, Sangihe, Tidore, Ternate, Jawa, dan Ambon dan mendirikan tenda-tenda di Tata´aran. Pada tanggal 23 Oktober, Belanda mulai menembaki benteng Moraya Tondano dengan meriam 6 pond. Namun, mereka tidak menyangka bahwa akan ada perlawanan dari pihak Tondano. Bahkan, tenda-tenda Belanda di Tata´aran mendapat kejutan setelah pasukan berani mati pimpinan Rumapar, Walalangi, Walintukan dan Rumambi menyerang di tengah malam. Pada bulan November, pimpinan utama Belanda Prediger terluka kepalanya akibat terkena tembakan di Tata´aran. Dia kemudian digantikan wakilnya Letnan J. Herder. Perang kemudian bertambah panas yang kemudian ditandai dengan perang darat dan perahu.

1809
Click to enlarge
Kapal Kora-Kora
Pemimpin tondano mendatangkan perahu Kora-Kora dengan memotong logistik bahan makanan dari Kakas ke Tondano. Pada tangal 14 April, pasukan Jacob Korompis menyerang tenda-tenda Belanda di Koya. Serangan yang dilakukan malam hari itu, JACOB berhasil merebut amunisi dan senjata milik Belanda.
Tanggal 2 Juni Belanda melakukan perjanjian dengan kepala-kepala wala Minahsa lainnya. Kemudian pasukan –pasukan yang bukan orang Tondano muali meninggglakan Benteng Moraya karena bahan makanan muali berkurang. Dan yang tertinggal adalah pasukan dari Tomohon dan Kalabat.
Setelah Benteng Moraya jadi sunyi, sudah tidak terdengar lagi teriakan-teriakan perang dan bunyi–bunyi letusan senjata. Lalu pada suatu malam, Belanda menyerang Benteng itu dan membakar rata dengan tanah. Serangan itu dilakukan pada malam hari tanggal 4 Agustus dan pagi 5 Agustus. Dalam penyerangan tersebut, Belanda kemudian membumi hanguskan Benteng Morya Tondano. Pimpinan utama dari perang di Tondano adalah Tewu (Touliang), Lontho (Kamasi-Tomohon), Mamahit (Remboken), Matulandi (Telap) dan Theodorus Lumingkewas (Touliang). Mereka adalah kepala-kepala walak yang disebut “Mayoor” atau Tona’as perang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar