Kamis, 18 Juli 2013

sejarah minahasa

Groot Majoor van Minahasa



Groot Majoor Tololiu Dotulong dengan bintang dan klewangnya. *)

Perang Diponegoro tahun 1825-1830 menghasilkan banyak perwira Minahasa pertama dalam dinas angkatan perang Hindia-Belanda yang berangkat dari pasukan khusus kemudian menjadi Oost-Indische Leger lalu resmi bernama Koninklijk Nederlands-Indisch Leger (KNIIL) di tahun 1933. Andil pasukan khusus asal Minahasa yang dikenal sebagai Pasukan Tulungan (hulptroepen) dalam penyelesaian perang yang disebut juga sebagai Perang Jawa tersebut sangat besar.
Keberanian dan keperwiraan tuama Minahasa dalam pertempuran konon sangat menggentarkan musuh. Tidak heran, Belanda telah memanfaatkan jasa pasukan Tulungan (bantu) dalam mengatasi peperangan besar yang terjadi sebelum perang Diponegoro. Beberapa kelompok pasukan Tulungan Minahasa disebut telah berandil dalam menetralisir perang di Maluku yang dikobarkan Kapitein Pattimura (Thomas Matulessy) tahun 1817.
Surat kabar Het Nieuws Van Den Dag voor Nederlandch-Indie edisi 6 September 1939 dalam tulisan khusus tentang mantan Komandan Pasukan Tulungan Minahasa Groot Majoor Tololiu Dotulong mengungkapkan kekaguman Letnan Jenderal Hendrik Merkus de Kock. Komandan tentara Hindia-Belanda sekaligus Letnan Gubernur Jenderal ini memuji Mayor Tololiu Dotulong yang dianggapnya sangat membantu dalam mengakhiri perang yang menelan korban jiwa dan biaya besar itu. Tololiu Dotulong pintar berargumen, berbakat dengan keberanian tidak terkira dan kebijakan yang mampu mengatur pengikutnya. Pasukan Tulungan Minahasa dipujinya lagi  karena ‘hebat’ dalam segala hal, mampu menahan iklim dan selalu berhasil masuk lalu lolos dari bahaya besar.
r
Rumah Kepala Distrik Sonder tahun 1880. *)
Bahkan telah membuktikan bahwa Pangeran Diponegoro hanya ingin menyerah kepada pasukan Tulungan Minahasa. Penyerahan tokoh yang kini menjadi pahlawan nasional Indonesia itu, menurut harian ini, berlangsung pada tanggal 27 Maret 1830. Diponegoro mengucapkan berulangkali, bahkan setelah ia dipenjarakan, kekagumannya terhadap keberanian dari Mayor Tololiu Dotulong.
Untuk jasa-jasanya dalam Perang Diponegoro, Tololiu Dotulong memperoleh kenaikan pangkat militer Mayor menjadi Groot Majoor pasukan infantri. Selain itu ia memperoleh penghargaan tanda jasa bintang emas serta sebilah pedang kelewang bersalut emas yang terlambat sebab baru diterimanya bulan April 1833.
GROOT MAYOOR WAKKARY
Ternyata bukan hanya Mayoor Tololiu Dotulong yang menjadi perwira menengah Minahasa di pasukan embrio KNIL itu. Salah seorang tokoh lain Minahasa dalam perang Diponegoro adalah Abraham Donatius Wakkary berasal dari Negeri Baru, balak Minahasa beribukotakan Titiwungen yang sekarang masuk Kota Manado. Ia merupakan anak dari Donatius Wakkary, Kepala Balak Negeri Baru yang namanya dicatat di tahun 1808, seorang kaya di zamannya.
Abraham Donatius Wakkary pun memperoleh pangkat Groot Majoor seperti halnya Tololiu Dotulong, meski berbeda kesatuan. Kalau Tololiu Dotulong dari infantri, Abraham Wakkary pasukan berkuda (kavaleri). Dibanding Tololiu, pencapaian militernya bahkan tergolong sangat menakjubkan, karena Wakkary merangkak dari posisi serdadu, dan pangkat Groot Majoor diraihnya secara istimewa, dengan langsung melompat dari posisi Sersan Mayor.
Sayang data tentang prestasi dan jasa-jasa Groot Majoor Wakkary dalam pertempuran melawan Pangeran Diponegoro tersebut sangat minim. Apakah ia masuk dalam Pasukan Tulungan dibawah Tololiu Dotulong atau memimpin Pasukan Tulungan kontingen asal Balak Negeri Baru tidak ada datanya.
Jalan masuk ke rumah kepala distrik Sonder 1868-1874. *)
Namun, surat kabar tengah bulanan Tjahaja Sijang yang diterbitkan Zendeling Nicolaas Graafland dari Tanawangko, pada edisi perdana tahun 1869 menurunkan berita kematian dan riwayat singkat dari Groot Majoor Abraham Wakkary ini.
Abraham Donatius Wakkary lahir di Manado tanggal 15 Juni 1796, dan dipermandikan 11 Juni 1891 oleh Pendeta J.H.Coendera van Helpen (data lain mencatat pendeta ini adalah Predikan Ambon dan Saparua Barent Abel Joost Coenders van Helpen, yang secara berkala melayani Keresidenan Manado). Para kepala dan keluarga mereka di Balak Negeri Baru memang terkenal sebagai tokoh-tokoh awal Minahasa yang memeluk agama Kristen. Terkenal umpama Hukum Alexander Karinda di tahun 1729, lalu anaknya Augustin Karinda serta Johannes Karundeng, termasuk ayah Abraham, yakni Donatius Wakkary.
Abraham Donatius Wakkary sekolah di Manado pada umur 18 hingga 24 tahun. Pada usia 28 tahun, di tahun 1824 masuk jadi serdadu dan pergi ke Jawa, ikut memerangi Pangeran Diponegoro. Pangkatnya naik dari ordonans jadi kopral. Kemudian berturut-turut menjadi sersan, sersan mayor dan terakhir Groot Majoor pasukan berkuda. Karena keberaniannya dalam perang Diponegoro, memperoleh bintang Ridder van de Militaire Willemsorde, dan mencatatkan diri sebagai orang Minahasa pertama yang menyandang predikat demikian. 
Jhr.Francois V.A.Ridder de Stuers dalam Gedenkschrift van den Oorlog op Java van 1825 tot 1830, mencatat namanya hanya sebagai Wakkarie, menerima Ridders van de Militaire Willemsorde 4e klasse. Saat penerimaannya di tahun 1830 ia dicatat masih berpangkat Opp.Wachtmeester, sersan mayor, dari kesatuan Kavaleri (Hussaren).
Di tahun 1831 Abraham Donatius Wakkary kembali ke Minahasa, dan menjadi salah seorang Opziener, penilik dibawah Residen Manado, serta tokoh jemaat Protestan di Manado dengan menjadi syamas selama 5 tahun. Lalu atas permintaan sendiri minta berhenti karena alasan umur. Tanggal 29 Maret 1868 Groot Majoor Abraham Donatius Wakkary meninggal dunia di Manado.
TEMAN SETIA
Surat kabar terbitan Batavia tadi memuji Tololiu Dotulong sebagai pahlawan dan teman setia. Ia dilahirkan di Kema (kini kecamatan di Kabupaten Minahasa Utara) tanggal 12 Januari 1795. Ia sudah dikenal di masa mudanya sebagai sangat pemberani. Pada usia duapuluh tahun, Tololiu diangkat menjadi Kepala Distrik Kedua (Hukum Kedua) Sonder dan delapan tahun kemudian di tahun 1823 dipromosi menjadi Kepala Distrik (Hukum Besar). Kinerja, semangat besar dan kemampuan Tololiu Dotulong dipujikan sekali Gubernur Jenderal Hindia-Belanda Godert Alexander Gerard Philip Baron van der Cappelen (1816-1826) selama kunjungannya ke Minahasa tahun 1824. Tidak heran di tahun 1827 Tololiu Dotulong dianugerahi gelar kehormatan Mayoor.
Di tahun 1827 Tololiu Dotulong menikah dengan putri Kepala Distrik Kakas (Ontoy Elisabeth Aleto Kalalo). Masa itu Hindia-Belanda dirongrong Perang Jawa dibawah Pangeran Diponegoro, dan Residen Manado (pejabat, 10 Februari 1826, lalu definitif 13 Agustus 1827-1831) Mr.Daniel Francois Willem Pietermaat memiliki kebiasaan mendiskusikan banyak isu penting dengan Tololiu Dotulong, terutama kesulitan yang diakibatkan oleh peperangan besar tersebut. Kepala Distrik Sonder segera menawarkan layanannya. Ia mengusulkan sang Residen membentuk pasukan Minahasa untuk bantu memerangi Diponegoro. Ternyata pemerintah Hindia-Belanda menerima usulannya, sehingga Tololiu Dotulong memulai usahanya sendiri mengumpulkan sekitar 1.600 anggota pasukan Minahasa. Ia pun diangkat menjadi komandannya.
Gubjen de Graeff (kiri) baru usai berziarah. *)
Setelah sukses menangkap Pangeran Diponegoro, di tahun 1830 Tololiu Dotulong pulang kembali ke Minahasa dan membangun Sonder menjadi lebih baik lagi dengan banyak ilmu pengetahuan yang dilihatnya di Jawa. Di tahun 1861 ia mengundurkan diri dan diberikan pensiun. Namun semangat mudanya masih menyala-nyala laksana seorang pemuda. Di usia 81 tahun 1876 ia mendengar berlangsungnya Perang Aceh. Berpikir membantu, dengan segera Tololiu Dotulong menawarkan diri untuk kembali mengumpulkan pasukan balabantuan Minahasa. Dan, karena tidak bisa berperang lagi sebab usia tua, maka dimintanya anaknya bernama Albertsino (Albertus) Dotulong untuk ditunjuk sebagai komandan pasukan. Namun, karena fakta dalam militer Hindia-Belanda saat itu telah ada pasukan Manado, rencananya ditolak. Tentu saja ia merasa kecewa. Groot Majoor Tololiu Dotulong meninggal pada usia yang sangat tua, 94 tahun tanggal 18 November 1888.
KRANS
Pemerintah Hindia-Belanda baru kembali ingat jasa-jasa Groot Majoor Tololiu Dotulong mulai pertengahan tahun 1920-an. Tiga Gubernur Jenderal dalam perjalanan dinasnya ke Keresidenan Manado tercatat pernah berziarah dan sebagai penghargaan meletakkan krans (karangan bunga) di pusara ‘teman setia dan sekutu’nya selama Perang Diponegoro. 
de Graeff meletakkan karangan bunga. *)
Pertama adalah Jhr.Mr.Andries Cornelis Dirk de Graeff di tahun 1927, kedua Jhr.Mr.Bonifasius Cornelis de Jonge tahun 1934 dan terakhir Gubernur Jenderal Jhr.Mr.A.W.L.Tjarda van Starkenborgh Stachouwer tahun 1939. Kini makam Groot Majoor Tololiu dalam kondisi memprihatinkan dan tidak terurus.***
Foto: Koleksi KITLV dan Tropenmuseum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar